R. Diniarti F. Soe’oed
I.
Pendahuluan
Tanpa sosialisasi
masyarakat tidak dapat berlanjut pada generasi berikutnya. Sosialisasi merupakan
proses transmisi kebudayaan antargenerasi, karena tanpa sosialisasi masyarakat
tidak dapat bertahan melebihi suatu generasi.
Syarat penting untuk
berlangsungnya proses sosialisasi adalah interaksi sosial, karena tanpa
interaksi sosial sosialisasi tidak mungkin belangsung. Menurut Vander Zande,
sosialisasi adalah interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara
berpikir, berperasaan dan berperilaku, sehingga dapat berperan serta secara
efektif dalam masyarakat (J.W. Zanden, 1979: 75).
Dari konsep tersebut
dapat disimpukan bahwa melalui proses sosialisasi individu diharapkan dapat
berperan sesuai dengan nilai yang berlaku dalam masyarakat di mana ia berada.
Oleh karena itu barulah kita mengetahui betapa pentingnya sosialisasi itu dalam
keberlangsungannya suatu masyarakat.
Individu dapat
menjadi makhluk sosial dipengaruhi oleh faktor keturunan (heredity) atau alam
(nature) dan faktor lingkungan (environment) atau asuhan (murture). Faktor
keturunan adalah faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (ascribe) dan merupakan
transmisi unsur-unsur dari orang tuanya melalui proses genetika; jadi sudah ada
sejak awal kehidupan. Faktor ligkungan adalah faktor luar yang mempengarui
organisme, yang mebuat kehidupan bertahan.
Sosialisasi dialami
oleh individu sebagai makhluk sosial sepanjang kehidupannya sejak ia dilahirkan
sampai meninggal dunia. Karena interaksi merupakan kunci berlangsungnya proses
sosialisasi maka diperlukan agen sosialisasi, akni orang-orang di sekitar
individu tersebut yang mentransmisikan nilai-nilai atau norma-nomra tertentu,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Agen sosialisasi ini merupakan
significant others (orang yang paling dekat) dengan individu, seperti orang
tua, kakak-adik, saudara, teman sebaya, guru atau instruktur, dan lainnya
Menurut tahapanya
sosiaisasi dibedakan menjadi dua tahap, yakni sosialsasi primer, sebagai
sosialisassi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia
menjadi angota masyarkat. Dan sosialisasi sekunder yang didefinisikan sebagai
proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke
dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakat
II.
SOSIALISASI SEBAGAI SUATU PROSES
Individu yang tadinya
hanya sebagai mahluk biologis melalui proses sosialisasi, belajar tentang
nilai, norma, bahasa, simbol, ketrampilan, dan sebagainya untuk diterima dalam
masyarakat di mana ia berada. Untuk
menjadi anggota masyarakat yang ‘normal’ atau diterima di dalam masyarakat,
diperlukan keampuan untuk menilai secara objektif perilaku kita sendiri dari
sudut pandang orang lain. Kemampuan tersebut berarti seorang sudah memiliki apa
yang dinamakan ‘self’ (diri). Ciri orang yang sudah memiliki ‘self’ adalah
orang yang sudah mampu merefleksikan atau memberlakukan dirinya sebagai objek
dan subjek sekaligus.
Dalam penjelasannya,
Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep ‘looking glass self’, di mana
senantiasa dalam benak individu terjadi suatu proses yang ditandai oleh 3 tahap
terpisah yaitu persepsi, interprestasi, dan respons.
Sedangkan menurut
Herbert Mead, orang yang msudah memiliki ‘self’ dijumpai pada penguasaan
bahsanya, yakni pada anak-anak yang sudah berusia lma tahun. Kemampuan untuk
menganggap diri sebagia objek dan subjek secara sekaligus ini diperoleh dalam
dua tahap yaitu Play Stage dan Game Stage.
Mead mengemukakan
gagasan bahwa SELF mempunyai dua komponen, yaitu: I (faktor-faktor yang khas
yang memasuki komunikasi kita dengan orang lain). Me (segi yang memberikan
tanggapan pada konvensi-konvensi sosial (Karp dan Yoels, 1979: 40-41)
Kemampuan anak untuk
mengabstrakkan peran-peran dan sikap-sikap dari Significant Othersnya (semua
orang lain yang berarti) serta menggeneralisasikannya untuk semua orang,
termasuk dirinya, disebut generalized other. Ketika baru lahir, individu tidak
dapat memilih Significant Others, dan Significant Others cenderung memaksakan
kehendaknya pada diri anak.
III.
Sosialisasi Pengalaman Sepanjang Hidup
Sosialisasi merupakan suatu proses yang
dialami oleh setiap individu sebagai makhluk sosial di sepanjang kehidupannya,
dari ketika ia dilahirkan sampai akhir hayatnya bentuk-bentuk sosialisasi
berbeda-berbeda dari setiap dari setiap tahap kehidupan individu dalam siklus
kehidupannya. Dari setiap tahap sosialisasi, agaen sosialisasiya pun berbeda.
1.
Masa Kanak-Kanak
Setiap orang tua mempunyai kewajiban
untuk emgajarkan pada anak-anaknya tentang kehidupan ini. Kewajiban tersebut
adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya.
Proses sosialisasi dapat digambarkan
melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons dalam
menganalisis tindakan-tindakan sosial. Fase-fase tersebut yaitu Adaptation,
Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration, dan Latent Pattern Maitenance
tidak ada batasan yang jelas, karena merupakan suatu proses yang terjadi secara
sinambung.
2.
Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transmisi
dari kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum merupakan
suatu periode yang dimuai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan
pendidikan untuk tingkat menengah.
Dalam sosialisasi terdapat remaja ada
suatu gejala yang disebut ‘reverse socialization’. Reverse socialization ini
mengacu pada cara di ana orang yang lebih muda dapat menggunakan pengaruh
mereka kepada yang lebih tua. Mengubah pandangan, cara berpakaian bahakan
nilai-nilai mereka. Reverse socialization dapat dideskripsikan sebagai suatu
hal di mana orang yang seharusnya disosialisasikan justru mensosialisasikan.
Mead megatakan bahwa sosialisasi ini banyak terjadi pada masyarakat yang
mengalami perubahan sosial dengan cepat.
3.
Masa Dewasa
Sosialisasi pada orang dewasa merupakan
suatu proses di mana individu dewasa mempelajari norma, nilai dan peranan yang
baru dalam lingkungan sosial yang baru pula. Proses belajar ini lebih intensif,
belu tentu sama dengan nilai norma yang telah diperolehnya pada kesempatan
sebelunya atau di lingkungan sosial yang lainnya mungki berbeda bahkan
bertentangan dan proses ini disebut resosialisasi.
Sosialisasi tersebut antara lain sosialisasi dalam dunia kerja, dalam
perkawinan, dan sosialisasi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya,
4.
Masa Tua dan Menuju Kematian
IV.
Sosialisasi Peran Menurut Jenis Kelamin (Gender-Role Socialization)
Dalam setiap
masyarakat dan kebudayaan pasti ada perbedaan peran-peran individu yang
diharapkan oleh masyarakat dari pria dan wanita.
Sebuah penelitia yang pernah dilakukan
oleh Ny. Lever terhadap 181 anak-anak kelas menengah di Inggris, yang melihat
perbedaan secara sistematis antara pria dan wanita dalam kegiatan bermain,
antara lain contohnya, laki-laki bermain di laur ruah dalam satu tim, seperti
olah raga, perang-perangan. Perempuan bermain sendiri di rumah dengan boneka.
Orang tua membedakan
perlakuannya terhadap anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan
melalui tiga teori menurut Maccoby dan Jacklin dalam Scanzoni.
1.
Teori Imitasi (mengenai
identifikasi awal seorang anak terhadap anggota keluarga yang jenis kelaminnya
sama dengannya, dengan menirukan tingkah laku tertentu orang dewasa.
2.
Self Socialization anak akan
berusaha mengembangkan konsep tentang dirinya dan juga mengembangkan suatu
pengertian tentang apa yang harus dilakukan bagi jenis kelamin yang
bersangkutan.
3.
Teori Renforcement (menekankan
penggunaan sanksi berupa hukuman atau penghargaan.
V.
Pengaruh Perbedaan Kelas Sosial terhadap Sosialisasi Anak dalam
Keluarga
Seperti yang
dikategorikan oleh Bronfenbrenner dan Melvin Kohn bahwa ada dua bentuk
sosialisasi antara lain sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan yang
disebut dengan sosialisasi denga cara represif (repressive socialization), dan
yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi
(participatory socializarion).
Sosialisasi dengan
cara represif berpusat pada orang tua karea anak harus memperhatikan keinginan
orang tua, sedang pada sosialisasi yang partisipatori berpusat pada anak,
karena orang tua memperhatikan keperluan anak.
Konsep kelas sosial
menurut Melvin Kohn dalam studinya adalah pengelompokan individu yang menempati
posisi yang sama dalam skala prsetis. Berdasarkan konsep tersebut Kohn membagi
kelas sosial dalam empat golongan:
1.
Lower-class adalah pekerja manual
yang tidak memiliki ketrampilan seperti buruh bangunan, tukang sapu jalan.
2.
Working-class adalah pekerja
manual yang memiliki ketrampila tertentu, seperti tukag jahit, supir, tukang
kayu, tukang batu.
3.
Middle-class adalah pengawai
kantoran atau profesional, seperti guru, pegawai administrasi.
4.
Elite-class sama dengan
middle-class hanya kekayaan dan latar belakag keluarga lebih tinggi.
Namun Kohn dalam penelitiannya hanya memandingkan kondisi
yang ada pada dua kelas sosial, yaitu working-class (kelas pekerja) dan
middle-class (kelas menengah).
Selain pola sosialisasi pertisipasi dan represif yang
diperkenalkan oleh Bronfenbrenner dan Melvin Kohn, ada juga pola sosialisasi
yang digunakan oleh orang tua dalam menanamkan disiplin pada anak-anaknya yang
dikembangkan oleh Elizabeth B. Hurlock (Hurlock, 172: 344:440) yang terdiri
dari Otoriter, Demokratis, Permisif (bersikap membiarkan atau mengizinkan
setiap tingkah laku anak),.
Ada pula kecenderungan orang tua utnuk lebih menyukai atau
lebih sering menggunakan pola tertentu, yang dalam penggunaanya dipengaruhi
oleh sejumlah faktor:
1.
Menyamakan diri dengan pola
sosialisasi yang digunakan oleh orang tua mereka.
2.
Menyamakan pola sosialisasi yang
dianggap paling baik oleh masyarakt di sekitarnya.
3.
Usia dari orang tua.
4.
Kursus-kursus.
5.
Jenis kelamin orang tua.
6.
Status sosial ekonomi.
7.
Konsep peranan orang tua.
8.
Jenis kelamin anak.
9.
Usia anak.
10.
Kondisi anak.
Penting pula
diketahui bahwa ketika penanaman nilai-nilai dalam proses sosialisasi perlu
diperhatikan 4 aspek yang terkait agar tujuan pendidikan tercapai yakni
peraturan, sanksi berupa hukuman dan penghargaan, juga konsistensi (Hurlock,
1972: 395-401).
Jadi yang paling dianggap
penting dair keempat faktor di atas adalah konsistensi, karena segala sesuatu
yang konsisten seperti mengenai waktu, menerapkan hukuman, memberikan
hadiah/penghargaan akan menjadikan segalanya sebagai peraturan, karean segala
sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang engan konsisten akan menjadi
pedoman/aturan.
0 komentar:
Posting Komentar