Rabu, 28 November 2012

PROSES SOSIALISASI


R. Diniarti F. Soe’oed

I.         Pendahuluan
Tanpa sosialisasi masyarakat tidak dapat berlanjut pada generasi berikutnya. Sosialisasi merupakan proses transmisi kebudayaan antargenerasi, karena tanpa sosialisasi masyarakat tidak dapat bertahan melebihi suatu generasi.
Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi adalah interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial sosialisasi tidak mungkin belangsung. Menurut Vander Zande, sosialisasi adalah interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara berpikir, berperasaan dan berperilaku, sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam masyarakat (J.W. Zanden, 1979: 75).
Dari konsep tersebut dapat disimpukan bahwa melalui proses sosialisasi individu diharapkan dapat berperan sesuai dengan nilai yang berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Oleh karena itu barulah kita mengetahui betapa pentingnya sosialisasi itu dalam keberlangsungannya suatu masyarakat.
Individu dapat menjadi makhluk sosial dipengaruhi oleh faktor keturunan (heredity) atau alam (nature) dan faktor lingkungan (environment) atau asuhan (murture). Faktor keturunan adalah faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (ascribe) dan merupakan transmisi unsur-unsur dari orang tuanya melalui proses genetika; jadi sudah ada sejak awal kehidupan. Faktor ligkungan adalah faktor luar yang mempengarui organisme, yang mebuat kehidupan bertahan.
Sosialisasi dialami oleh individu sebagai makhluk sosial sepanjang kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Karena interaksi merupakan kunci berlangsungnya proses sosialisasi maka diperlukan agen sosialisasi, akni orang-orang di sekitar individu tersebut yang mentransmisikan nilai-nilai atau norma-nomra tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Agen sosialisasi ini merupakan significant others (orang yang paling dekat) dengan individu, seperti orang tua, kakak-adik, saudara, teman sebaya, guru atau instruktur, dan lainnya
Menurut tahapanya sosiaisasi dibedakan menjadi dua tahap, yakni sosialsasi primer, sebagai sosialisassi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi angota masyarkat. Dan sosialisasi sekunder yang didefinisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakat

II.      SOSIALISASI SEBAGAI SUATU PROSES
Individu yang tadinya hanya sebagai mahluk biologis melalui proses sosialisasi, belajar tentang nilai, norma, bahasa, simbol, ketrampilan, dan sebagainya untuk diterima dalam masyarakat di mana ia berada.  Untuk menjadi anggota masyarakat yang ‘normal’ atau diterima di dalam masyarakat, diperlukan keampuan untuk menilai secara objektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Kemampuan tersebut berarti seorang sudah memiliki apa yang dinamakan ‘self’ (diri). Ciri orang yang sudah memiliki ‘self’ adalah orang yang sudah mampu merefleksikan atau memberlakukan dirinya sebagai objek dan subjek sekaligus.
Dalam penjelasannya, Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep ‘looking glass self’, di mana senantiasa dalam benak individu terjadi suatu proses yang ditandai oleh 3 tahap terpisah yaitu persepsi, interprestasi, dan respons.
Sedangkan menurut Herbert Mead, orang yang msudah memiliki ‘self’ dijumpai pada penguasaan bahsanya, yakni pada anak-anak yang sudah berusia lma tahun. Kemampuan untuk menganggap diri sebagia objek dan subjek secara sekaligus ini diperoleh dalam dua tahap yaitu Play Stage dan Game Stage.
Mead mengemukakan gagasan bahwa SELF mempunyai dua komponen, yaitu: I (faktor-faktor yang khas yang memasuki komunikasi kita dengan orang lain). Me (segi yang memberikan tanggapan pada konvensi-konvensi sosial (Karp dan Yoels, 1979: 40-41)
Kemampuan anak untuk mengabstrakkan peran-peran dan sikap-sikap dari Significant Othersnya (semua orang lain yang berarti) serta menggeneralisasikannya untuk semua orang, termasuk dirinya, disebut generalized other. Ketika baru lahir, individu tidak dapat memilih Significant Others, dan Significant Others cenderung memaksakan kehendaknya pada diri anak.

III.   Sosialisasi Pengalaman Sepanjang Hidup
Sosialisasi merupakan suatu proses yang dialami oleh setiap individu sebagai makhluk sosial di sepanjang kehidupannya, dari ketika ia dilahirkan sampai akhir hayatnya bentuk-bentuk sosialisasi berbeda-berbeda dari setiap dari setiap tahap kehidupan individu dalam siklus kehidupannya. Dari setiap tahap sosialisasi, agaen sosialisasiya pun berbeda.
1.      Masa Kanak-Kanak
Setiap orang tua mempunyai kewajiban untuk emgajarkan pada anak-anaknya tentang kehidupan ini. Kewajiban tersebut adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya.
Proses sosialisasi dapat digambarkan melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial. Fase-fase tersebut yaitu Adaptation, Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration, dan Latent Pattern Maitenance tidak ada batasan yang jelas, karena merupakan suatu proses yang terjadi secara sinambung.
2.      Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transmisi dari kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum merupakan suatu periode yang dimuai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan pendidikan untuk tingkat menengah.
Dalam sosialisasi terdapat remaja ada suatu gejala yang disebut ‘reverse socialization’. Reverse socialization ini mengacu pada cara di ana orang yang lebih muda dapat menggunakan pengaruh mereka kepada yang lebih tua. Mengubah pandangan, cara berpakaian bahakan nilai-nilai mereka. Reverse socialization dapat dideskripsikan sebagai suatu hal di mana orang yang seharusnya disosialisasikan justru mensosialisasikan. Mead megatakan bahwa sosialisasi ini banyak terjadi pada masyarakat yang mengalami perubahan sosial dengan cepat.
3.      Masa Dewasa
Sosialisasi pada orang dewasa merupakan suatu proses di mana individu dewasa mempelajari norma, nilai dan peranan yang baru dalam lingkungan sosial yang baru pula. Proses belajar ini lebih intensif, belu tentu sama dengan nilai norma yang telah diperolehnya pada kesempatan sebelunya atau di lingkungan sosial yang lainnya mungki berbeda bahkan bertentangan dan proses ini disebut resosialisasi. Sosialisasi tersebut antara lain sosialisasi dalam dunia kerja, dalam perkawinan, dan sosialisasi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya,
4.      Masa Tua dan Menuju Kematian

IV.   Sosialisasi Peran Menurut Jenis Kelamin (Gender-Role Socialization)
Dalam setiap masyarakat dan kebudayaan pasti ada perbedaan peran-peran individu yang diharapkan oleh masyarakat dari pria dan wanita.
Sebuah penelitia yang pernah dilakukan oleh Ny. Lever terhadap 181 anak-anak kelas menengah di Inggris, yang melihat perbedaan secara sistematis antara pria dan wanita dalam kegiatan bermain, antara lain contohnya, laki-laki bermain di laur ruah dalam satu tim, seperti olah raga, perang-perangan. Perempuan bermain sendiri di rumah dengan boneka.
Orang tua membedakan perlakuannya terhadap anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan melalui tiga teori menurut Maccoby dan Jacklin dalam Scanzoni.
1.      Teori Imitasi (mengenai identifikasi awal seorang anak terhadap anggota keluarga yang jenis kelaminnya sama dengannya, dengan menirukan tingkah laku tertentu orang dewasa.
2.      Self Socialization anak akan berusaha mengembangkan konsep tentang dirinya dan juga mengembangkan suatu pengertian tentang apa yang harus dilakukan bagi jenis kelamin yang bersangkutan.
3.      Teori Renforcement (menekankan penggunaan sanksi berupa hukuman atau penghargaan.

V.      Pengaruh Perbedaan Kelas Sosial terhadap Sosialisasi Anak dalam Keluarga
Seperti yang dikategorikan oleh Bronfenbrenner dan Melvin Kohn bahwa ada dua bentuk sosialisasi antara lain sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan yang disebut dengan sosialisasi denga cara represif (repressive socialization), dan yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi  (participatory socializarion).
Sosialisasi dengan cara represif berpusat pada orang tua karea anak harus memperhatikan keinginan orang tua, sedang pada sosialisasi yang partisipatori berpusat pada anak, karena orang tua memperhatikan keperluan anak.
Konsep kelas sosial menurut Melvin Kohn dalam studinya adalah pengelompokan individu yang menempati posisi yang sama dalam skala prsetis. Berdasarkan konsep tersebut Kohn membagi kelas sosial dalam empat golongan:
1.         Lower-class adalah pekerja manual yang tidak memiliki ketrampilan seperti buruh bangunan, tukang sapu jalan.
2.         Working-class adalah pekerja manual yang memiliki ketrampila tertentu, seperti tukag jahit, supir, tukang kayu, tukang batu.
3.         Middle-class adalah pengawai kantoran atau profesional, seperti guru, pegawai administrasi.
4.         Elite-class sama dengan middle-class hanya kekayaan dan latar belakag keluarga lebih tinggi.
Namun Kohn dalam penelitiannya hanya memandingkan kondisi yang ada pada dua kelas sosial, yaitu working-class (kelas pekerja) dan middle-class (kelas menengah).
Selain pola sosialisasi pertisipasi dan represif yang diperkenalkan oleh Bronfenbrenner dan Melvin Kohn, ada juga pola sosialisasi yang digunakan oleh orang tua dalam menanamkan disiplin pada anak-anaknya yang dikembangkan oleh Elizabeth B. Hurlock (Hurlock, 172: 344:440) yang terdiri dari Otoriter, Demokratis, Permisif (bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak),.
Ada pula kecenderungan orang tua utnuk lebih menyukai atau lebih sering menggunakan pola tertentu, yang dalam penggunaanya dipengaruhi oleh sejumlah faktor:
1.         Menyamakan diri dengan pola sosialisasi yang digunakan oleh orang tua mereka.
2.         Menyamakan pola sosialisasi yang dianggap paling baik oleh masyarakt di sekitarnya.
3.         Usia dari orang tua.
4.         Kursus-kursus.
5.         Jenis kelamin orang tua.
6.         Status sosial ekonomi.
7.         Konsep peranan orang tua.
8.         Jenis kelamin anak.
9.         Usia anak.
10.     Kondisi anak.

Penting pula diketahui bahwa ketika penanaman nilai-nilai dalam proses sosialisasi perlu diperhatikan 4 aspek yang terkait agar tujuan pendidikan tercapai yakni peraturan, sanksi berupa hukuman dan penghargaan, juga konsistensi (Hurlock, 1972: 395-401).
Jadi yang paling dianggap penting dair keempat faktor di atas adalah konsistensi, karena segala sesuatu yang konsisten seperti mengenai waktu, menerapkan hukuman, memberikan hadiah/penghargaan akan menjadikan segalanya sebagai peraturan, karean segala sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang engan konsisten akan menjadi pedoman/aturan.

0 komentar:

Posting Komentar