Kamis, 29 November 2012

Sosiologi Pariwisata


"MALIOBORO"

“Malioboro is the main center of shopping place in Jogja. It lies along the city main street from Tugu Railway Station till kraton. At night, the stalls along the street selling souvenirs and small items, roll up and the evening “lesehan” begins. This is a Jaogja tradition where people sit out at night by gas-light on straw mat to chat, drink tea, eat snacks and enjoy the cool evening air.” Begitulah yang tertulis pada lembar kertas panduan wisata Jogja.
Jalan Malioboro atau masyarakat banyak mengenal dengan sebutan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Dalam bahasa Sansekerta, malioboro berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu ketika Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Meski waktu terus bergulir dan jaman telah berubah, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai, Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Kraton atau kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan tersebut. Kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang awalnya berpusat di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah utara hingga Stasiun Tugu.
Melihat Malioboro yang berkembang pesat menjadi denyut nadi perdagangan dan pusat belanja, di sini anda bisa memborong aneka barang yang diinginkan mulai dari pernik cantik, cinderamata unik, batik klasik, emas dan permata hingga peralatan rumah tangga. Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang asyik. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah.



Pada tanggal 12 Agustus 2012 wajah baru Malioboro tahap pertama resmi diluncurkan oleh Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X yang menyatakan bahwa, “Penataan kawasan malioboro perlu mengedepankan unsur manusiawi, salah satunya memberikan kenyamanan untk pejalan kaki yang ada di kawasan tersebut.”
Sultan menyatakan bersyukur bahwa penataan Malioboro yang telah dilakukan penataan dari ujung utara sampai simpang jalan Dagen tersebut sudah bisa mengembalikan kesadaran semua pihak untuk menata kota dengan mengedepankan unsure manusiawi. Hal itu dapat tercermin dari penataan malioboro secara vertikal dan horizontal. Penataan vertikal menyangkut pengembalian wajah bangunan budaya asli dengan membersihkan papan reklame melintang. Hal ini bertujuan menampilkan kembali serta melestarikan cagar budaya bangunan bergaya Hindis dan China yang jumlahnya mencapai puluhan.
Penataan horizontal berkaitan dengan penataan jalur lambat dan infrastruktur jalan untuk memperluas pemandangan. Berkaitan dengan keberadaan jalur lambat, mulai saat ini kecepatan kendaraan yang melintas Malioboro dibatasi maksimal 30 km/jam, penambahan pergola-pergola di jalur lambat untuk menaungi pedagang kaki lima yang ada di bawahnya sehingga tidak tersengat cahaya matahari atau penyediaan belasan zebra cross untuk mengamankan penyeberangan jalan, serta penambahan tanda-tanda atau simbol-simbol lalulintas.
Pemberian simbol-simbol lalulintas bertujuan agar para pengendara dapat lebih berhati-hati ketika melewati jalan malioboro dan dapat menghormati para pejalan kaki di daerah jalan malioboro. Simbol-simbol tersebut berguna sebagai alat komunikasi yang akan membangkitkan diri individu dalam hal ini adalah para pengendara yang melewati jalan malioboro untuk mematuhi simbol-simbol atau rambu-rambu tersebut.
Adanya pembaruan wajah malioboro yang salah satunya yaitu dengan penambahan rambu-rambu lalulintas menimbulkan berbagai komentar dari masyarakat yang mencari biaya penghidupan di jalan malioboro tersebut. Ada yang setuju dengan mengatakan bahwa malioboro kini lebih terlihat lapang dan tertata rapi serta adanya wajah baru malioboro tersebut menandakan bahwa kepedulian Sultan terhadap para PKL di jalan malioboro tersebut masih ada.
Sultan bisa dikatakan sebuah status yang merujuk pada posisi structural dalam sistem sosial yang memiliki peran yang lebih besar masyarakat Yogyakarta. Selain itu, sistem cultural yang ada di Yogyakarta sendiri juga mendukung untuk membuat masyarakat selalu taat dan patuh terhadap perintah Sultan yang dapat mewujudkan sebuah control sosial. Seperti contohnya, ketika Sultan memutuskan untuk mengubah wajah malioboro menjadi seperti saat ini sebagian besar masyarakat yang ada di malioboro tersebut setuju dan patuh terhadap apa yang telah Sultan tetapkan dan ini malioboro dengan wajah barunya masih tetap menjadi salah satu dari beberapa tempat tujuan utama wisata, baik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri.

Sumber:
http://librianacandraa.blogspot.com
 http://fauziep.blogdetik.com
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana 


0 komentar:

Posting Komentar