"MALIOBORO"
“Malioboro is the main center of shopping
place in Jogja. It lies along the city main street from Tugu Railway Station
till kraton. At night, the stalls along the street selling souvenirs and small
items, roll up and the evening “lesehan” begins. This is a Jaogja tradition
where people sit out at night by gas-light on straw mat to chat, drink tea, eat
snacks and enjoy the cool evening air.” Begitulah yang tertulis pada lembar kertas panduan
wisata Jogja.
Jalan
Malioboro atau masyarakat banyak mengenal
dengan sebutan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang
dari Tugu Yogyakarta hingga ke
perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi,
Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Dalam bahasa Sansekerta, malioboro berarti jalan karangan
bunga karena pada zaman dulu ketika Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1
km ini akan dipenuhi karangan bunga. Meski waktu terus bergulir dan jaman telah
berubah, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka
kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng
Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval
mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival
Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai,
Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan
kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Kraton atau kompleks
kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji
Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji
Setan (Kantor DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi
selatan serta adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun
mendongkrak perekonomian di kawasan tersebut. Kelompok Tionghoa menjadikan
Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang awalnya
berpusat di Beringharjo dan Pecinan
akhirnya meluas ke arah utara hingga Stasiun Tugu.
Melihat Malioboro yang berkembang pesat
menjadi denyut nadi perdagangan dan pusat belanja, di sini anda bisa memborong
aneka barang yang diinginkan mulai dari pernik cantik, cinderamata unik, batik
klasik, emas dan permata hingga peralatan rumah tangga. Bagi penggemar
cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang asyik. Berjalan kaki di
bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima akan
menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik,
hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur
kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua bisa ditemukan
dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang
dengan harga yang terbilang murah.
Pada tanggal 12 Agustus 2012 wajah baru
Malioboro tahap pertama resmi diluncurkan oleh Gubernur DIY, Sultan Hamengku
Buwono X yang menyatakan bahwa, “Penataan kawasan malioboro perlu mengedepankan
unsur manusiawi, salah satunya memberikan kenyamanan untk pejalan kaki yang ada
di kawasan tersebut.”
Sultan menyatakan bersyukur bahwa penataan
Malioboro yang telah dilakukan penataan dari ujung utara sampai simpang jalan
Dagen tersebut sudah bisa mengembalikan kesadaran semua pihak untuk menata kota
dengan mengedepankan unsure manusiawi. Hal itu dapat tercermin dari penataan malioboro secara vertikal dan horizontal. Penataan
vertikal menyangkut pengembalian wajah bangunan budaya asli dengan membersihkan
papan reklame melintang. Hal ini bertujuan menampilkan kembali serta
melestarikan cagar budaya bangunan bergaya Hindis dan China yang jumlahnya
mencapai puluhan.
Penataan
horizontal berkaitan dengan penataan jalur lambat dan infrastruktur jalan untuk
memperluas pemandangan. Berkaitan dengan keberadaan jalur lambat, mulai saat
ini kecepatan kendaraan yang melintas Malioboro dibatasi maksimal 30 km/jam, penambahan
pergola-pergola di jalur lambat untuk menaungi pedagang kaki lima yang ada di
bawahnya sehingga tidak tersengat cahaya matahari atau penyediaan belasan zebra cross untuk mengamankan
penyeberangan jalan, serta penambahan tanda-tanda atau simbol-simbol
lalulintas.
Pemberian simbol-simbol lalulintas bertujuan
agar para pengendara dapat lebih berhati-hati ketika melewati jalan malioboro
dan dapat menghormati para pejalan kaki di daerah jalan malioboro.
Simbol-simbol tersebut berguna sebagai alat komunikasi yang akan membangkitkan
diri individu dalam hal ini adalah para pengendara yang melewati jalan
malioboro untuk mematuhi simbol-simbol atau rambu-rambu tersebut.
Adanya pembaruan wajah malioboro yang salah
satunya yaitu dengan penambahan rambu-rambu lalulintas menimbulkan berbagai
komentar dari masyarakat yang mencari biaya penghidupan di jalan malioboro
tersebut. Ada yang setuju dengan mengatakan bahwa malioboro kini lebih terlihat
lapang dan tertata rapi serta adanya wajah baru malioboro tersebut menandakan
bahwa kepedulian Sultan terhadap para PKL di jalan malioboro tersebut masih
ada.
Sultan bisa dikatakan sebuah status yang
merujuk pada posisi structural dalam sistem sosial yang memiliki peran yang
lebih besar masyarakat Yogyakarta. Selain itu, sistem cultural yang ada di
Yogyakarta sendiri juga mendukung untuk membuat masyarakat selalu taat dan
patuh terhadap perintah Sultan yang dapat mewujudkan sebuah control sosial. Seperti
contohnya, ketika Sultan memutuskan untuk mengubah wajah malioboro menjadi
seperti saat ini sebagian besar masyarakat yang ada di malioboro tersebut setuju
dan patuh terhadap apa yang telah Sultan tetapkan dan ini malioboro dengan
wajah barunya masih tetap menjadi salah satu dari beberapa tempat tujuan utama
wisata, baik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri.
Sumber:
http://librianacandraa.blogspot.com
http://fauziep.blogdetik.com
http://regional.kompas.com/read/2012/08/13/15333379/Sultan.Penataan.Malioboro.Harus.secara.Manusiawi
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi:
Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana
0 komentar:
Posting Komentar